SEJARAH CREDIT UNION DUNIA
Pada awal abad ke 19, masyarakat Jerman dilanda musibah kelaparan dan musim dingin hebat. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya melawan keadaan. Persediaan makanan sangat terbatas dan penyakit mewabah.
Pada awal abad ke 19, masyarakat Jerman dilanda musibah kelaparan dan musim dingin hebat. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya melawan keadaan. Persediaan makanan sangat terbatas dan penyakit mewabah.
Friedrich Wilhelm Raiffeisen |
Dalam keadaan yang serba tak menentu
seperti itu, ada sekelompok orang yang diuntungkan dan bahagia atas
penderitaan orang lain. Mereka adalah para lintah darat. Kalau para
petani memerlukan uang, maka kepada lintah darat itulah meraka
berlindung. Pada lintah darat meminjamkan uang
dengan bunga yang sangat tinggi. Beginilah nasib para petani,"gali
lubang tutup lubang, tutup hutang lama, cari hutang baru". Bahkan sering
terjadi harta benda para petani juga menjadi incaran para lintah darat.
Keadaan di kota lebih dipersulit lagi
dengan meletusnya revolusi industri menjelang pertengahan abad ke 19.
Tenaga buruh mulai diganti dengan tenaga mesin, sehingga pengangguran
merajalela. Buruh makin tak berdaya. Nasib para petani yang pindah ke
kota menjadi buruh pabrik tidak lebih baik dibandingkan dengan
rekan-rekan mereka yang masih bertahan di kampung.
Walikota Raiffeisen bukanlah orang yang
mudah putus asa. Dia menempuh cara lain dalam menyelesaikan masalah
kemiskinan ini dengan mengumpulkan roti dan pabrik-pabrik roti di
Jerman. Roti-roti yang terkumpul dibagi-bagikan kepada buruh dan para
petani miskin. Tetapi usaha inipun tidak menyelesaikan masalah
kemiskinan secara permanen. Hari ini diberi, besok sudah habis, begitu
seterusnya. Berdasarkan pengalaman di atas, sang walikota berkesimpulan :
"KESULITAN SI MISKIN HANYA DAPAT DIATASI
OLEH SI MISKIN ITU SENDIRI. SI MISKIN HARUS MENGUMPULKAN UANG SECARA
BERSAMA-SAMA DAN KEMUDIAN MEMINJAMKAN KEPADA SESAMA MEREKA JUGA.
PINJAMAN HARUS DIGUNAKAN UNTUK TUJUAN YANG PRODUKTIF, YANG MEMBERIKAN
PENGHASILAN JAMINAN PINJAMAN ADALAH WATAK SI PEMINJAM".
Untuk mewujudkan impian tersebut, Raiffeisen bersama kaum buruh dan petani miskin membangun koperasi yang bernama Credit Union. Mereka berhasil mencetuskan tiga (3) prinsip utama Credit Union, yaitu:
- Azas swadaya ; Tabungan hanya diperoleh dari anggotanya.
- Azas setia kawan ; pinjaman hanya diberikan kepada anggota.
- Azas pendidikan dan penyadaran ; membangun watak adalah utama. hanya yang berwatak baik yang dapat diberikan pinjaman. Jadi jaminan pinjaman adalah watak peminjam.
SEJARAH CREDIT UNION DI INDONESIA
Koperasi Kredit sudah masuk di Indonesia
pada tahun 1950-an dan mulai dijalankan oleh pemerintahan Indonesia
tahun 1955 s/d tahun 1959. Tahun 1960-an terjadi inflasi yang sangat
hebat menimpa negeri ini, usaha simpan pinjam menjadi lumpuh total. Pertengahan
tahun 1960-an koperasi-koperasi ini beralih menjadi koperasi konsumsi
yang banyak berspekulasi uang sehingga koperasi ala Raiffeisen lenyap
dan yang bermunculan adalah koperasi serba usaha. Tahun 1967 para
penggerak ekonomi Indonesia menghubungi WOCCU untuk mendiskusikan gagasan Credit Union di Indonesia sebagai "sarana sekaligus Wahana pengentasan masyarakat marjinal". Usulan
ini mendapat tanggapan positif dari WOCCU. Sebagai wujud keseriusannya
WOCCU mengirim Mr A.A. Bailey untuk datang ke Indonesia. Awal Januari
1970 para penggerak ekonomi Indonesia dan WOCCU bersepakat membentuk
wadah yang diberi nama Credit Union Counselling Office (CUCO) yang
dipimpin oleh K. Albrecth Karim Arbie, SJ tahun 1971 mengangkat Drs. Robby Tulus sebagai Managing Director untuk menjalankan kegiatan operasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar